Wednesday, April 25, 2007


SYARI’AT ISLAM versus NEGARA KESATUAN
Oleh: Irfannoor Laily Mansur
Mhs. S3 di Northern University of Malaysia


Serombongan mahasiswa dengan pakaian khas itu bergegas menaiki bis kampus Damri. Mereka bertujuan ke kampus tua yang terletak di kawasan Kayutangi itu. Laki-lakinya berpakaian baju koko dengan celana panjang gantung di atas mata kaki, sementara perempuannya memakai jubah dan jilbab lebar. Di kampus mereka memang dikenal sebagai aktivis dakwah. Karenanya, sehari-harinya mereka lebih aktif berkegiatan di mesjid kampus daripada forum senat mahasiswa. Di mesjid tersebut, mereka banyak melakukan mentoring Islam bagi para mahasiswa. Kadang kala mereka juga aktif melakukan demonstrasi di jalan-jalan kota. Biasanya atribut yang sering mereka gunakan adalah ikat kepala dan bendera yang bertuliskan kalimat “Lâ Ilaha illa Allâh”. Karena sering mengusung wacana penegakan syari’at Islam, maka mereka sering juga menyebut diri sebagai aktivis syari’at Islam. Ketika baru-baru ini berkembang pro-kontra pengaturan poligami oleh Presiden, mereka juga berdemo. Konon mereka menolak pengaturan itu karena dianggap bertentangan dengan syari’at Islam.
Itulah sedikit ilustrasi atas fenomena maraknya kelompok-kelompok Islam berhaluan formalisme di Indonesia dalam beberapa tahun ini. Sedikitnya, ada beberapa kelompok model ini yang sering tampil ke wilayah publik bangsa ini. Kelompok-kelompok tersebut antara lain KAMMI, HTI, Jama’ah Tabligh, hingga yang agak radikal seperti FPI, Laskar Jihad dan MMI.
Selama ini kita selalu beranggapan bahwa kebijakan “depolitisasi Islam” di era Orde Baru telah melahirkan gerakan Islam kultural yang moderat dan kontekstual ala Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Dan selama Orde Baru, model gerakan Islam seperti inilah yang mendominasi pentas keagamaan tanah air. Kita pun akhirnya lupa bahwa marjinalisasi Orde Baru juga secara potensial menciptakan produk gerakan Islam dalam varian yang bersifat radikal dan militan.
Kita seakan-akan tidak sadar dengan hujjah Michel Foucault bahwa “tak ada hegemoni yang sedemikian kuatnya sehingga menguras habis sumber-sumber daya untuk melakukan perlawanan”. Dengan tidak menyadari hujjah ini, kita lantas ujug-ujug kaget dengan hadirnya kelompok-kelompok Islam berhaluan formalisme ini di pentas publik bangsa ini. Dari mana sesungguhnya mereka bisa hadir dan menjadi fenomenal di negeri yang konon katanya moderat dan akomodatif ini ?
Dari Marjinalisasi Menuju Gerakan Dakwah
Penulis akan menjelaskan ini dari peristiwa berpalingnya tokoh-tokoh Masyumi dari arena politik kepada aktivitas dakwah Islam sebagai akibat langsung kebijakan “depolitisasi Islam” era Orde Baru. Proses berpalingnya tokoh-tokoh Masyumi ini berawal dari ditolaknya keinginan mereka untuk merehabilitasi Masyumi oleh pemerintahan awal Orde Baru pada tahun 1967. Maka sejak saat itu, berkembang paradigma baru para mantan pemimpin Masyumi ini untuk memperluas lingkup perjuangan Islam ke arena-arena non-politik (Yudi Latif, 2005: 497).
Tepatnya 26 Februari 1967, para mantan pemimpin Masyumi ini mengadakan pertemuan di masjid al-Munawarrah (Tanah Abang, Jakarta), yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Karena pengaruh lobi Natsir, DDII dapat memperoleh akses ke lembaga-lembaga donor dari negara-negara Timur Tengah. Sehingga dimungkinkan untuk membiayai aktivitas-aktivitas dakwah dan mengirim para siswa Indonesia belajar ke Timur Tengah. Dan tak kalah pentingnya, DDII juga melakukan usaha-usaha awal untuk merekrut kader-kader muda dengan tujuan untuk menciptakan para intelektual “organik” bagi gerakan-gerakan dakwah masjid kampus.
Rekrutmen kader-kader muda dengan tujuan melatih keder-kader dakwah kampus ini memang mampu mendorong gerakan dakwah masjid kampus, yang menjadi fenomena 1970-an dan 1980-an di Indonesia. Dan yang menjadi penanda dari fenomena ini adalah didirikannya masjid-masjid kampus di milieu universitas-universitas yang prestisius, seperti ITB dan UI.
Prototipe gerakan dakwah kampus ini mucul dari masjid Salman ITB yang dikenalkan oleh Immaduddin Abdulrahim melalui paket Latihan Mujahid Dakwah (LMD) sekitar tahun 1973. Yang menarik, materi dasar dari ideologi LMD adalah versi modifikasi dari NDP-nya HMI yang disusun oleh Nurcholish Madjid. Di LMD ini lebih ditekankan doktrin tauhid dan perhatian khusus terhadap ancaman perang pikiran (ghazwul fikr) dengan ide-ide sekuler Barat.
Keberhasilan program LMD ini berhasil membangkitkan gerakan dakwah masjid kampus ditandai lahirnya LDK di beberapa universitas umum di Indonesia. Konon, keberhasilan ini juga membangkitkan gerakan dakwah masjid di luar kampus. Yang terakhir ini ditandai dengan lahirnya Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) di tahun 1977, yang pada tahun 1993 berubah menjadi BKPRMI.
Seiring dengan berkembangnya gerakan dakwah masjid di dalam/luar kampus, maka secara tidak langsung aktivis-aktivis yang terlibat di dalam gerakan ini belakangan menjadi tempat persinggahan gerakan Islam dari luar, seperti Ikhwanul Muslimin (mesir), Darul Arqam (Malaysia), Jama’ah Tabligh (Pakistan), dan Hizbut Tahrir Indonesia (Yordania). Dari sinilah awal mula perkembangan ideologi Islamisme dari Timur Tengah secara lebih intensif di kalangan aktivis muda dakwah di Indonesia.
DDII sendiri merupakan agen yang paling berperan dalam penyebarluasan ideologi Ikhwanul Muslimin lewat pelatihan-pelatihan kader dakwah yang mereka laksanakan. Seiring dengan itu, berdirinya Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) juga turut berperan dalam penyebarluasan ideologi Ikhwanul Muslimin dan ideologi Islamisme lainnya. Penyebarluasan ideologi ini makin intens ketika para mahasiswa yang pernah dikirim Natsir ke Timur Tengah kembali ke tanah air sekitar tahun 1980-an.
Dengan masuknya ideologi Islamisme dari Timur Tengah ini, maka proses pembentukan identitas diri aktivis-aktivis dakwah ini pun makin menemukan bentuknya secara konseptual, dimana mereka mampu mengembangkan diri sebagai bagian dari gerakan yang tidak hanya bersandar pada aktivitas purifikasi keagamaan semata, tapi juga dalam bentuk ideologi perlawanan atas berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, seperti modernisme, sekularisme, kapitalisme, dan lain-lain (Jamhari dan Jahroni, 2004: viii).
Ideologi Islamisme yang diterima para aktivis dakwah ini pada saat yang bersamaan menemukan titik-temunya pada serangkaian peristiwa yang dibuat Orde Baru untuk memojokkan para aktivis Islam sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an, dengan puncak peristiwa pada kasus Tanjung Priok di akhir1984. Titik temu inilah yang akhirnya mampu secara efektif menciptakan sikap diri para aktivis sebagai kelompok yang kontra terhadap eksistensi negara sekuler yang diciptakan Orde Baru.
Syari’at Islam dan Buruknya Wajah Reformasi
Oleh karenanya, runtuhnya rezim Orde Baru dan ditiupkannya “angin kebebasan” di era Orde Reformasi, bukan saja menjadi titik balik tetapi juga menjalan bagi gerakan dakwah masjid untuk beroperasi ke ruang publik. Di sinilah kita melihat terjadi perpindahan gerakan aktivis dakwah dari masjid kepada gerakan penegakan syari’at Islam di ruang publik bangsa Indonesia.
Selain karena “angin kebebasan” yang dibawa oleh reformasi, gerakan penegakan syari’at Islam ini juga mendapatkan “tempat”nya di masyarakat lantaran situasi sosial, ekonomi dan politik selama masa reformasi. Berkembangnya anggapan umum di masyarakat bahwa ideologi modern yang diterapkan di Indonesia telah mengalami kegagalan total, sehingga perlu dicari ideologi alternatif yang diharapkan bisa menyelamat rakyat Indonesia menjadikan gerakan ini dapat berkembang luas di Indonesia.
Gejala untuk mencari alternatif di bawah bayang-bayang kegagalan eksperimentasi ideologi modern di negeri ini bisa dilihat dari hasil Survei PPIM-UIN Jakarta Tahun 2001-2004 tentang "Islam dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia", yang menunjukkan bahwa ideologi Islam makin populer karena dianggap memberikan harapan. Kondisi psikologi massa ini tercermin dalam data survei tersebut. Tahun 2001 orang beranggapan bentuk pemerintahan Islam sebagai yang terbaik berjumlah 57,8 %. Survei 2002, jumlah ini melonjak menjadi 67,1 %, sementara survei 2004 meningkat lagi menjadi 72,2 %. Ini merupakan indikasi bahwa ideologi Islam semakin diminati (Jamhari dan Jahroni, 2004: 218).
Konsistensi anggapan ini ini terjadi pula pada aspek-aspek lain. Dengan kata lain, pilihan atas "pemerintahan Islam" tidak berdiri sendiri, ia berkorelasi dengan faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengannya. Tidak bekerjanya sistem hukum nasional telah menimbulkan banyak kekecewaan di tengah masyarakat. Hal ini pada gilirannya mendorong orang untuk berandai-andai, mungkin sistem ini sebaiknya digantikan dengan sistem baru yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Syari'at Islam tampaknya memenuhi keinginan masyarakat mengenai sistem hukum yang ideal. Tahun 2001 orang yang menginginkan hukum Islam berjumlah 61,4 %. Tahun 2002, angka ini melonjak menjadi 70,6 %. Tahun 2004, angka ini meningkat menjadi 75,5 % (Jamhari dan Jajang, 2004: 219).
Dengan berkembangnya kecenderungan ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia, maka gerakan penegakan syari’at Islam ini makin mendapatkan tempat di masa-masa reformasi. Akibatnya, “angin kebebasan” yang ditiupkan oleh Orde Reformasi justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok Islam yang selama ini termarjinalisasikan oleh Rezim Orde Baru untuk memperkuat gerakan penegakan syari’at Islam ke seluruh wilayah publik bangsa Indonesia. Penguatan ini bisa dilihat dari maraknya beberapa daerah dalam melahirkan Perda-Perda bernuansa Syari’at Islam sebagai bagian dari modus operandi gerakan penegakan Syari’at di wilayah politik di daerah.
Syari’at Islam versus Negara Kesatuan
Dengan kecenderungan ini muncul kekhawatiran akan masa depan kesatuan bangsa ini. Gerakan ini ditengerai bisa berpotensi menjadi penyebab perpecahan bangsa.
Bagi penulis sendiri kekhawatiran itu adalah hal yang bisa dipahami. Namun, janganlah ketika kekhawatiran itu muncul, lalu solusi yang kemudian dikembangkan dalam membendung arus gerakan tersebut dengan mengulangi kesalahan yang telah diciptakan oleh Orde Baru. Melalui penjelasan di atas, kiranya cukup jelas bahwa kebijakan “depolitisasi Islam” yang diterapkan Orde Baru justru secara tidak sengaja telah menciptakan “kekuatan baru” bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan politik. Modus operandi gerakan dakwah yang dikembangkan para pemimpin tua Masyumi berhasil menciptakan daya resistensi mereka di hadapan hegemoni total negara Orde Baru. Hasilnya, ruang kebebasan era reformasi justru menjadi tempat mereka bermetamorfosis sebagai kekuatan yang sulit dibendung.
Dengan demikian, sudah saatnya kita tidak mengulangi kesalahan Orde Baru. Jika kita ingin mengendalikan gerakan yang ditengerai berpotensi memecah kesatuan bangsa ini, akan lebih baik kita sama-sama mendorong negara ini untuk tampil sebagai kekuatan politik yang mampu mengakomodasi seluruh kekuatan elemen yang ada di masyarakat. Dan tidak lagi mendorongnya negara ini menjadi kekuatan yang suka memarjinalisasikan sebagian dari kelompok masyarakatnya. Doronglah negara melalui penegakkan rules of law yang tegas untuk memberi keleluasaan masing-masing kepentingan dalam masyarakat saling berkontestasi dalam ruang publik yang bebas dan terbuka.
Pengalaman Orde Baru bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua ketika kelompok sosial yang selama ini termarjinalisasi berubah menjadi kekuatan yang sukar untuk diabaikan begitu saja. Pengalaman Orde Baru itu juga menjadi pelajaran bahwa hegemoni tidak serta-merta membuat kelompok sosial yang termarjinalisasikan menjadi kehilangan kekuatan dan musnah begitu saja.
Mungkin benar kata Foucault bahwa “tak ada hegemoni yang sedemikian kuatnya sehingga menguras habis sumber-sumber daya untuk melakukan perlawanan”. Dan hujjah ini sudah kita buktikan kebenarannya saat ini ! []

POLIGAMI; Antara Ruang Privat Dan Negara
Oleh: Irfannoor Laily Mansur
Mhs. S3 Northern University of Malaysia


Kontroversi seputar poligami yang mencuat di jagat republik ini telah berlalu di lembar-lembar media kita. Dipicu oleh perkawinan kedua ustadz kondang Aa Gym dengan seorang janda cantik, kontroversi poligami pun selama berminggu-minggu merebak di mana-mana. Tidak tanggung-tanggung, kontroversi itu sempat mengusik perhatian seorang Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono.
Keterusikan sang Presiden itu diwujudkan dengan rencana revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk memperkuat dan memperluas PP. No. 45 Tahun 1990 tentang Poligami. Melalui revisi tersebut, pemerintah berkeinginan untuk memperluas cakupan aturan berpoligami bagi PNS hingga pejabat publik. Tanggapan pro-kontra pun mencuat tak terhindarkan, hingga akhirnya sang Presiden pun segera mengurungkan niat baiknya itu. Sang Presiden dituduh telah mencampuri urusan privat warganya.
Walaupun pro-kontra seputar pengaturan poligami telah berakhir di penghujung tahun lalu, bukan berarti pro-kontra itu tidak meninggalkan sisa masalah. Benarkah negara tidak berhak mengatur wilayah privat seseorang, seperti masalah berpoligami ?. Tulisan ini tidaklah bertujuan untuk membuka perdebatan, namun penulis ingin mengurai penjelasan dimana sesungguhnya wewenang negara dalam mengatur ruang privat masyarakat, seperti masalah berpoligami

Islam dan Poligami
Berbicara poligami dalam Islam mau tidak mau pasti merujuk pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3. Pada ayat ini secara tegas disebutkan tentang kebolehan seorang laki-laki untuk berpoligami, dengan bunyi ayat: “… fankihû mâ thâba lakum minan nisâ’i matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’a, fain khiftum allâ ta’dilû fawâhidah …” (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja). Dengan berpatokan pada ayat ini sesungguhnya poligami memang merupakan sesuatu yang dibolehkan dalam Islam.
Namun demikian, kebolehan atas perkara poligami ini, menurut beberapa pakar Islam, bukan berarti pula Islam sangat menganjurkan seorang laki-laki muslim berpoligami. Hal ini mengingat, secara historis, Nabi Muhammad SAW sendiri selama 28 tahun dari lebih dari 30 tahun berumah tangga setia dengan praktek monogami. Oleh karena itu, hanya sebentar saja dari hidup berumah tangganya, Nabi mempraktekkan poligami.
Bahkan, menurut riwayat, Nabi pernah marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah, akan dipoligami oleh Ali bin Abi Thalib. Nabi pun bersabda”Innî lâ ‘âdzan tsumma lâ ‘âdzan tsumma lâ ‘âdzan illâ an ahabba ‘ibn Abî Thâlib an yuthalliq ‘ibnatî (saya tidak akan izinkan, sama sekali, tidak akan saya ijinkan, sama sekali, tidak akan saya ijinkan, kecuali bila Ali ibn Abi Thalib menceraikan anakku terlebih dahulu). Kemudian Nabi bersabda lagi: “Fâthimah bidh’atun minnî, yurîbunî mâ ‘arâbahâ wa yu’dzînî mâ ‘adzâhâ” (Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya akan menyakiti hatiku juga).
Oleh karena itu, yang harus ditekankan dalam hal kebolehan berpoligami bagi laki-laki muslim ini adalah kebolehan yang sifatnya bersyarat, bukannya kebolehan yang begitu saja (taken for granted). Dengan adanya persyaratan ini dalam poligami, maka sudah tentu secara eksplisit poligami memiliki aturan yang harus dijalankan di dalam prakteknya. Karena memang sebagaimana yang ditunjukkan dalam bunyi ayat 3 pada surah An-Nisa: “fain khiftum allâ ta’dilû fawâhidah” (maka jika kamu takut untuk tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja), maka sesungguhnya tindakan berpoligami memang ada aturan.

Perlukah Poligami diatur Negara
Jika kemudian poligami secara eksplisit memiliki aturan yang harus dijalankan di dalam prakteknya, lalu siapakah yang berhak menjadi penjaga aturannya ? Apakah aturan ini cukup diserahkan pada urusan moral individual semata ? Ataukah aturan ini harus dilembagakan ke dalam sebuah institusi yang diakui di masyarakat ?
Secara prinsipil, al-Qur’an menggariskan prinsip keadilan sebagai dasar tindakan seorang laki-laki muslim untuk berpoligami. Namun kemudian yang menjadi persoalan adalah cukupkah perkara keadilan bagi seseorang dalam berpoligami ini hanya merupakan urusan moral seseorang semata ?
Jika kita kemudian merujuk lagi pada ayat 129 surah An-Nisa: “walan tashtatî’û an ta’dilû bainan nisâ’ walaw harashtum” (Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri[mu] walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian), maka sesungguhnya perkara keadilan sangatlah bersifat abstrak. Keadilan tidak bisa diukur hanya semata-mata dengan distribusi material semata. Tetapi keadilan juga menyangkut urusan yang bersifat psikologis dan sosial.
Hal ini karena ketika kita berbicara tentang keadilan sebagai sebuah prinsip moral, maka mau tidak mau kita juga harus mengkaitkannya dengan apa yang menjadi pandangan hidup dalam suatu masyarakat. Keterkaitan antara keadilan sebagai prinsip moral dengan pandangan hidup masyarakat inilah yang menjadikan nilai keadilan itu tidak berdiri sendiri tapi menjadi sesuatu yang bersifat kontekstual. Hal ini karena pandangan hidup itu selalu merefleksikan apa yang menjadi sistem sosial dari masyarakat tersebut.
Oleh karenannya, ketika sistem sosial yang menjadi basis dari masyarakat tersebut adalah sistem patriarkhi, maka pandangan hidup yang berkembang di masyarakat pun biasanya cenderung menempatkan perempuan sebagai objek yang bersifat subordinatif. Ketika pandangan hidup ini menjadi kerangka dasar seseorang dalam melihat prinsip moral tentang keadilan, maka ia pun cenderung menempatkan laki-laki sebagai suatu ukuran nilai. Oleh karena itu, apa yang menjadi representasi moral dalam sistem sosial yang demikian adalah bentuk-bentuk imperatif atas subordinasi terhadap perempuan. Tentunya, dalam posisi seperti ini, akan menjadi sia-sia berbicara tentang moral keadilan bagi suatu hubungan laki-laki dan perempuan sebagai urusan individual laki-laki ketika kesetaraan bukan menjadi sistem sosial di masyarakat. Di Indonesia sendiri, sebagaimana yang diyakini oleh para pakar, sistem sosial yang berlaku secara kultural adalah sistem sosial patriakhi, sehingga sangat rentan untuk menafsirkan keadilan berpoligami secara bias gender.
Inilah titik perkara persoalan yang menjadi kontroversi mengapa negara merasa perlu ikut campur dalam urusan poligami masyarakatnya. Perkaranya adalah masyarakat kita secara kultural bersifat patriarkhi, sehingga tidak kondusif menyerahkan urusan adil dalam berpoligami semata-mata hanya pada urusan moral individual laki-laki. Bagaimanapun dengan konstruksi moral sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka keadilan yang akan dijalankan dalam praktek berpoligami akan dikhawatirkan merepresentasikan sistem sosial patriakhal yang cenderung mensubordinasi perempuan. Muaranya, perempuan akan menjadi objek yang sangat rentan dengan kekerasaan.
Dengan demikian, bila kita sepakat dengan keadilan sebagai landasan poligami, maka mau tidak mau keadilan yang menjadi prinsipnya haruslah ditransformasikan menjadi sesuatu yang lebih objektif. Keadilan objektif inilah yang sesungguhnya menjadi logika atas turut campurnya negara dalam urusan poligami warganya. Negara, dalam hal ini, punya hak melindungi dan berpihak pada usaha melepaskan ketidakadilan dan kekerasan yang akan menimpa kaum perempuan. Mengapa demikian ? Karena perempuan juga adalah warga negara yang absah di negeri ini.
.
Negara dan Ruang Privat Masyarakat
Bila kita berbicara tentang wilayah privat selalu saja kita cenderung mengasosiasikannya dengan sesuatu yang steril dari campur tangan negara. Pada hal kenyataannya, sampai batas-batas tertentu, wilayah privat juga memerlukan campur tangan tertentu dari negara. Hal ini karena total begitu saja menolak campur tangan negara atas masyarakat sipil sama artinya dengan membiarkan berkembangnya liberalisme individual. Demokrasi yang hanya terfokus pada pengurangan total intervensi negara hanya akan menjadi arena politik yang menguntungkan para pemilik modal dan elite yang berkuasa. Dan ketika sistem demokrasi model ini diterapkan dalam konteks sistem sosial yang bersifat patriakhal, maka yang biasa pertama kali menjadi korban adalah kaum perempuan. Di sini, perempuan akan mengalami proses pemarjinalan dalam kontestasi sosialnya karena posisinya yang tidak setara dan subordinatif dari laki-laki sehingga tidak memiliki posisi tawar yang cukup menguntungkan dalam melakukan berbagai kontestasi.
Jika memang demikian, bagaimana kemudian kita bisa menilai campur tangannya negara atas wilayah privat masyarakat sebagai sebuah bentuk intervensi dengan bentuk kepedulian dan keberpihakan negara atas perjuangan misi keadilan yang dijalankan di masyarakat ?
Secara konseptual roh negara adalah regulator. Melalui berbagai aturan yang dibuatnya, negara bisa melakukan campur tangan negara dalam mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Secara teoritis, ada dua macam bentuk campur tangan negara tersebut. Pertama, campur tangan negara dalam bentuk kebijakan mengeluarkan berbagai regulasi yang membatasi hak-hak sipil warganya untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan interaksi sosial satu sama lainnya. Kedua, campur tangan negara dalam bentuk kebijakan menjalankan kewajibannya untuk menyediakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak bagi warganya. Kewajiban ini biasanya ditempatkan di bawah kategori hak-hak sosial-ekonomi warga.
Menyangkut persoalan poligami, misalnya, negara bisa dikatakan melakukan intervensi bahkan represi ketika ia melarang sama sekali praktek poligami yang secara prinsipil diyakini oleh umat Islam sebagai praktek yang boleh. Pelarangan menjadi sesuatu yang melanggar hak asasi seseorang untuk meyakini sebuah keyakinan tertentu. Namun ketika negara, dalam urusan poligami ini, hanya melakukan regulasi semata demi tegaknya keadilan yang lebih objektif, maka turut campur dalam hal ini merupakan kewajiban negara itu sendiri.
Mengapa menjadi kewajiban negara melakukan regulasi atas poligami ini ? Jawabnya tidak lain, untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Hal ini perlu sekali dilakukan oleh negara karena masyarakat Indonesia yang umumnya masih menganut sistem sosial patriarkhi, menurut para pakar, berpotensi menjadikan poligami sebagai arena kontestasi kekerasan terhadap perempuan. Di sinilah negara sekali lagi wajib melindungi dan berpihak kaum perempuan yang rentan atas kekerasaan. Karena perempuan juga adalah warga negara yang absah di negeri ini. Bahkan, menurut penulis, perlindungan ini juga harus diperluas pada perempuan-perempuan yang menjadi objek dari praktek-praktek pernikahan tidak resmi.
Apalagi kalau kita perhatikan bahwa keinginan pemerintah untuk melakukan revisi UU tersebut bukan dalam rangka pelarangan tapi lebih bersifat regulatif. Dan fokusnya pun bukan seluruh elemen masyarakat, tapi PNS dan para public figure. Kenapa public figure perlu diregulasi ? Jawabannya, tentu, bukan karena Aa Gym telah berpoligami. Jawabannya adalah karena umumnya masyarakat Indonesia secara kultural masih bersifat paternalistik, maka public figure seharusnya dapat memberikan contoh-contoh yang terbaik bagi masyarakatnya. Apalagi public figure yang dimaksud adalah public figure dalam kategori pejabat negara yang menerima penghasilan dari negara. Sungguh ironis jika seandainya pejabat negara memiliki banyak istri sehingga cenderung membenarkan pejabat negara itu memang banyak duitnya. Rasanya memang tidak etis jika pejabat negara dalam kondisi negara yang lagi terpuruk ini pamer kemampuan dalam memiliki istri lebih dari satu.
Dengan demikian, kita seharusnya lebih berhati-hati dalam bereaksi untuk menolak setiap bentuk campur tangan negara. Jangan-jangan reaksi penolakan kita tersebut justru menjebak kita pada kepentingan kelompok elite tertentu, bukannya kepentingan Islam itu sendiri. Wallahu a’lam bishawab. []



Tuesday, April 24, 2007

Identitas Etnik dan Multikulturalisme
Oleh: Irfannoor Laily Mansur
Mhs. S3 Northern University of Malaysia










Benarkah Banjar itu Islam ? Sebuah pertanyaan yang tak lazim dikemukakan di daerah ini. Tak lazim bukan semata-mata karena akan bersinggungan dengan keyakinan banyak pihak, tapi juga karena akan mengusik bangunan sejarah yang sudah lama terlanjur dikokohkan. Namun jika pertanyaan itu ditarik lebih jauh, sesungguhnya hal itu tidak lebih menyangkut persoalan seputar apakah identitas etnik itu bersifat tetap, essensial, dan tak tergantikan.
Untuk kajian ini, kerangka pikir yang ingin penulis kembangkan dalam tulisan ini adalah bahwa subjektivitas dan identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat tidak pasti (contingent). Karenanya, identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial dan tidak dapat “mengada” di luar representasi kultural dan sosial. Ia adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna sesuai waktu, tempat, dan penggunaannya.

Identitas dan Etnisitas Sebagai Konstruksi Budaya
Mengapa identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial ? Jawabnya tidak lain karena konsep identitas dan etnisitas adalah konsep yang bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, begitu juga Batak bukan bugis, dan lain-lainnya. Konsekuensinya, identitas dan etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik. Oleh karena itulah, tidak heran jika Fredrik Barth (1969) mengatakan bahwa etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim suatu identitas tertentu bagi diri mereka dan didifinisikan oleh yang lain dengan identitas tersebut. Ethnisitas bermakna identifikasi dengan suatu kelompok etnik karena afiliasi ini.
Di sinilah identitas dan ethnisitas dipahami sebagai konsep yang dikonstruksi secara budaya. Artinya, identitas maupun etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam suatu struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu (Schultz & Lavenda, 2001: 523).
Secara lebih rinci, identitas dan etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menandai sekelompok masyarakat tertentu dengan sembarang . Artinya, apa pun tandanya asal bisa dipakai untuk "menunjuk" (labelling) kelompok tertentu. Proses ini tentunya merupakan proses yang berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Proses askripsi adalah gejala interaksi yang terjadi ketika orang dari aneka latar belakang bertemu satu sama lain di berbagai lapangan kehidupan, bukannya ketika mereka benar-benar "menyendiri". Yang menjadi spesifik dalam proses ini adalah ketika seseorang itu tak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tapi sebagai contoh, anggota, atau wakil suatu kelompok orang dengan askripsi tertentu. Proses askripsi lama kelamaan berfungsi seolah-olah seperti deskripsi terhadap sekelompok orang. Adapun bagi kelompok yang dideskripsikan tersebut, deskripsi itu merupakan aturan bertindak.
Dalam sejarah, yang menjadikan askripsi berfungsi seolah-olah seperti deskripsi adalah faktor politik atau kekuasaan. Selama hubungan kekuasaan masih berupa persaingan, etnisitas terbatas pada rules of conduct hingga disebut cultural ethnicity. Begitu hubungan kekuasaan mulai jadi perebutan hegemoni, etnisitas menjadi political ethnicity yang bisa memicu konflik. Di sini identitas dan etnisitas bisa menjadi sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah.
Kelompok etnik biasanya dibedakan dari jenis kelompok sosial yang lain berdasarkan attribut yang mendefinisikan anggota kelompok: bahasa, agama, adat-istiadat, dan sejarah bersama. Oleh karenanya, semua pertukaran budaya ini tidak akan pernah terjadi jika anggota kelompok tidak secara teratur berinteraksi, dan bahkan saling melakukan perkawinan, identitas etnik sering dipikirkan, baik oleh anggota kelompok ataupun orang luar, menjadi berakar dalam asal-usul biologis bersama.
Sampai pada pembahasan tentang pengertian konseptual identitas dan etnisitas di atas, Giddens menegaskan bahwa etnisitas itu selalu berpusat pada identitas individu dan kelompok. Pentingnya identitas ini bagi sebuah kelompok etnik, menurut Giddens lagi, dikarenakan “It can provide an important thread of continuity with past and is opten kept alive through the practice of cultural traditions” (Giddens, 2001: 247).
Oleh karena itu, hampir semua identitas kultural – apakah ia dipahami dalam kaitan dengan identitas ikatan persaudaran, ras, ataupun etnik – dibangun dalam konteks yang berhadap-hadapan dengan yang lain. Oleh karenanya, batas-batas yang akhirnya menjadi diakui antar kelompok etnik adalah produk dari definisi diri secara internal dan definisi eksternal oleh yang lain. Tentunya, rasa kepemilikan kelompok dan kemampuan membedakan kelompoknya sendiri dengan kelompok yang lain, merentang jauh ke belakang dalam sejarah masa lalu (Lavenda & Schuttz, 2003: 96).

Banjar dan Multikulturalisme
Jika memang identitas dan etnisitas merupakan produk budaya, maka bagaimana identitas keislaman urang Banjar itu sendiri ? Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, penulis merasa perlu untuk mengemukakan temuan penelitian R. William Liddle dalam bukunya Ethnicity, Party and National Integration; An Indonesian Case. Penelitian yang berbasis di Simalungun, Sumatera Utara ini mengungkapkan bahwa sebelum adanya kolonialisme di Indonesia, kelompok etnik sebagai self-perceived group tidak eksis di Indonesia. Kesadaran tentang komunitas etnis dan keunikan etnisitas masing-masing baru muncul ketika pemerintah kolonial, terutama sejak awal abad 20, mempercepat perubahan ekonomi dan sosial, mengembangkan komunikasi dan transportasi, yang membawa semakin banyak individu terlibat dalam kontak satu sama lain untuk pertama kalinya.
Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya. Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar.
Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Mengapa Islam ? Menurut Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Dengan asumsi itu pula ditegaskan bahwa Banjar adalah sebuah kelompok etnik varian Melayu sejak awal.
Namun uniknya, menurut Marco Mahin, mengapa jika asal-usul etnik Banjar dikembalikan sepenuhnya pada garis keturunan Melayu-Sumatera, tapi dalam kenyataan bertentangan dengan fakta bahwa Melayu pada saat itu, abad ke-16, merupakan komunitas yang minoritas di tengah-tengah suku yang ada di Kalimantan Selatan. Bahkan, kampung Banjar pada waktu itu merupakan satu-satunya kampung Melayu yang terletak di tengah-tengah kampung Dayak Ngaju yang menggunakan bahasa Brangas, sehingga tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang etnik Banjar.
Sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar, belum ada etnis atau kelompok etnis Bandjar. Yang ada pada waktu itu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan Biaju, serta suku-suku lain. Pengamatan jeli terhadap proses awal berdirinya kesultanan Islam Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu, akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam) mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan Islam [Pangeran Samudera]) untuk menjadi raja.
Pada level asal-usul ini, kita melihat bahwa multikulturalisme telah tumbuh dan berkembang sejak dini. Ia telah menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat Banjar. Pada gilirannya kemudian, Struktur sosial yang telah terbentuk tersebut membawa pengaruh pada pembentukan struktur budaya bagi perilaku sosial masyarakatnya. Dalam kasus masyarakat Banjar, pengaruh tersebut teraktualisasikan dalam tindakan-tindakan yang tercermin dalam berbagai upacara adat dan kebiasaan tertentu di kalangan masyarakat tersebut. Itulah sebabnya kira-kira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, namun dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.
Lalu di mana sesungguhnya titik-tolak identitas keislaman urang Banjar. Di sini, Marko Mahin (2004) secara menarik membangun asumsinya dengan mengatakan bahwa identitas keislaman itu terkait dengan kedatangan kapal-kapal dagang Portugis yang katolik di Nusantara, khususnya ke Kalimantan. Titik tolak inilah, yang saat ini menjadikan askripsi berubah berfungsi seolah-olah seperti deskripsi
Nah, di sinilah letak persoalannya. Mengatakan bahwa Banjar itu adalah Islam adalah pilihan setiap orang karena memang identitas itu merupakan sesuatu yang penting bagi seseorang. Identitas adalah sumber makna dan pengalaman hidup seseorang. So, setiap individu, memang, memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging atas eksistensi sosialnya.
Yang menjadi persoalan, sebagaimana yang dijelaskan di atas, ketika identitas etnik dijadikan sarana perebutan hegemoni, dimana etnisitas sebagai rules of conduct berubah menjadi political ethnicity. Di sinilah, etnisitas bisa menjadi sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah.
Tanpa kita sadari bahwa kecenderungan etnisitas sebagai rules of conduct yang kemudian berubah menjadi political ethnicity mulai menggejala di beberapa daerah di tanah air saat ini. Perubahan askripsi menjadi seolah-olah seperti deskripsi, tentunya, bukan lagi gejala budaya tapi sudah merupakan faktor politik atau kekuasaan yang terjadi di ranah kontestasi kekuasaan. Mudah-mudah tulisan ini bisa menjadi urun rembuk yang konstruktif. []
Membangun Kearifan Ruang Publik
Oleh: Irfannoor Laily Mansur
Mhs. S3 Northern University of Malaysia, Asal Banjar




Kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras di Indonesia pasca reformasi, memang, memancing debat terbuka di kalangan para ahli. Memang, hampir di semua masyarakat muslim, agama adalah persoalan publik yang sangat terkait dengan politik. Asumsi bahwa agama hanya akan menjadi urusan pribadi seperti yang oleh para pengamat telah terjadi di sebagian negara di Eropa Barat, nampaknya tidak berlaku untuk masyarakat muslim.
Di Indonesia sendiri, kehadiran agama di ruang publik diartikulasikan oleh para aktivisnya dengan wacana “Penegakan Syari’at Islam”. Dengan menguatnya wacana ini di ranah politik kebangsaan secara langsung dan sengaja telah menandai salah satu ciri dari proses transisi demokratis yang sedang berjalan di negeri ini, dimana sebelumnya di era Orde Baru fenomena ini sangat ditabukan.

Agama dan Ruang Publik
Kebebasan ruang publik pasca reformasi ini memang tidak hanya dapat dinikmati oleh kelompok-kelompok yang selama ini mendorong demokratisasi di negeri ini. Kelompok-kelompok yang selama ini anti demokrasi juga sangat menikmati kehadiran ruang publik yang bebas ini. Di ranah keagamaan, kelompok-kelompok anti demokrasi yang saat ini begitu menikmati dan memanfaat situasi kebebasan ruang publik ini, antara lain Laskar Jihad, FPI, HTI, MMI, dan kelompok lainnya.
Jika sebelumnya, hanya kelompok-kelompok Islam beraliran moderat saja yang bisa menempati ruang publik yang disediakan oleh negara, maka saat ini justru kelompok-kelompok Islam yang beraliran garis keraslah yang justru hampir mendominasinya.
Jika sebelumnya wacana yang memenuhi ruang publik bangsa ini berkisar seputar “Islam Keindonesiaan”, maka saat ini wacana tersebut mulai terpinggirkan oleh gerakan dan wacana “Penegakan Syari’at Islam”. Dan Nalar hubungan Islam dan negara pun mengalami perubahan yang amat dramatis. Jika sebelumnya, nalar yang berkembang adalah nalar substansiasi Islam terhadap negara, maka saat ini nalar Islam sebagai ideologi alternatif menjadi telah berhasil menjadi diskursus tandingannya.
Di saat terjadinya transformasi kekuatan kelompok kepentingan di ruang publik negeri ini dari moderat ke radikal, kita menjadi dapat menyaksikan bagaimana fragmentasi otoritas keagamaan di negeri ini menjadi makin berkembang. Tidak ada lagi penafsir-penafsir keagamaan yang begitu sentral. Tidak ada lagi lembaga atau perorangan yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya suara kebenaran. Ruang publik telah membuka kesempatan yang luas bagi setiap orang untuk memilih, berdebat, dan menawarkan tafsiran lain terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Jika dulu, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid mampu menempatkan diri sebagai lokomotif utama Islam Indonesia, maka saat lokomotif itu sudah terfragmentasi kepada lokomotif-lokomotif lain dengan gerbong-gerbong yang amat beragam. Ja’far Umar Thalib, Abu Bakar Ba’asyir, Habib Riziq Shihab dan adalah sedikit nama yang mulai menjadi lokomatif Islam di negeri ini.

Kebebasan Ruang Publik dan Anarkhisme Sosial
Dilihat dalam perspektif demokrasi, kehadiran beragam kelompok kepentingan di ruang publik dalam menyuarakan pendapat dan keyakinan adalah bagian dari kehidupan demokrasi yang sesungguhnya. Kondisi ini tentunya amat berbeda dengan kondisi Orde Baru yang sangat menutup diri bagi kehadiran beragam kelompok-kelompok kepentingan. Di bawah rambu-rambu SARA, pemerintah Orde Baru seringkali membatasi apa yang bisa dikemukakan oleh masyarakat ke ruang publik. Sementara negara pasca reformasi tidak lagi sepenuhnya mengontrol dan mengendalikan ruang publik. Saat ini hampir tidak ada legitimasi negara dalam menafikan hak hidup bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan garis keras.
Seharusnya, memang, sebagaimana yang diidealkan sendiri oleh Jurgen Habermas, ruang publik yang berada di luar kontrol negara mampu memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang egaliter dan toleran. Dengan keterbukaan dan egalitarianisme ruang publik ini, masyarakat dapat berdiskusi dan berdebat mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Muaranya, tidak ada lagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasikan di ruang publik yang menjadi arena kontestasi kepentingan bersama ini.
Namun sayangnya, ruang publik Pasca Reformasi yang bebas ini ternyata tidak dengan sendirinya melahirkan budaya politik yang toleran dan terbuka di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Penegakan hukum yang lemah justru telah menyeret beberapa kelompok kepentingan Islam garis keras menjadi polisi “jadi-jadian” di jalanan. Akibatnya, terjadilah pengusiran atas kelompok-kelompok Islam yang dianggap “tidak resmi”. Kebebasan berekspresi di alam demokrasi justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tersebut untuk menafikan hak berkebebasan kelompok lainnya. Di sini, tampak sekali, demokrasi telah dijadikan sebagai “kuda troya” untuk memaksakan kehendak suatu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam berhaluan liberal pun tak kalah gencar memanfaatkan kebebasan ruang publik yang ada. Dengan ditopang kekuatan modal sosial yang dimilikinya, kelompok-kelompok ini pun merengsek masuk ke wilayah-wilayah penafsiran yang sensitif bagi kelompok-kelompok lainnya. Akhirnya, kelompok ini hadir laksana “hantu” gentayangan yang mengusik kenyamanan beragama kelompok lainnya.
Akibatnya tidak ada lagi bahasa kesopanan dan hormat menghormati, serta toleransi antara kedua belah pihak. Keterbukaan ruang publik justru melahirkan kebalikan cita-cita ideal demokrasi. Fragmentasi dan penyebaran otoritas yang diciptakan oleh keterbukaan ruang publik justru makin memperkuat anarkhisme di tengah-tengah transisi demokrasi di negeri ini. Kebebasan ruang publik yang tidak diikuti oleh peningkatan kinerja rule of law negara justru berakibat makin maraknya gerakan-gerakan anti demokrasi di tanah air akhir-akhir ini.

Ruang Publik yang Egaliter dan Spirit Multikulturalisme
Berbekal dari fenomena di atas, sudah sepatutnya kita mulai memikirkan bentuk keterlibatan kita sendiri di ruang publik bangsa ini. Jika kita sepakat bahwa ketertutupan ruang publik sebagaimana yang dipentaskan oleh Orde Baru telah menyebabkan sebagian dari saudara-saudara kita mengalami proses marjinalisasi secara politik dan ideologi, maka seharusnya kita juga harus menyadari sepenuhnya bahwa radikalisme dan militansi yang terjadi pada sebagian saudara-saudara kita yang mengusung bendera “Penegakan Syari’at Islam adalah akibat yang nyata dari proses marjinalisasi yang selama ini mereka rasakan. Ruang publik terbuka dan bebas akhirnya bukan dijadikan saran berdemokrasi, tapi justru show of force kelompok terhadap kelompok lainnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya momen keterbukaan ruang publik yang saat ini sama-sama kita nikmati justru bisa membawa kita pada pemahaman bahwa toleransi dan egalitarianisme merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan ruang publik yang terbuka ini. Dengan demikian, sudah saatnya kita memikirkan bagaimana menumbuhkan budaya toleran dan egaliter di tengah-tengah ruang publik yang bebas.
Bentuk toleransi dan egalitarianisme itu dapat diwujudkan melalui sikap-sikap tidak merasa benar sendiri atas kelompok yang lain. Janganlah dalih kebenaran membuat kita menjadi bersikap pongah untuk memaksa nilai-nilai yang kita yakini untuk diikuti oleh orang lain. Kepongahan itu tampaknya saat ini bukan hanya milik sepenuhnya kelompok-kelompok yang dituduh “radikal dan fundamentalisme”, tapi juga merambah pada kelompok-kelompok yang katanya pro-demokrasi Barat. Akibatnya, kelompok yang terakhir ini juga bisa kita tuduh “fundamentalis” karena merasa selalu paling benar dan tanpa sopan santun menafsirkan secara bebas nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok lain. Sehingga kedua kelompok yang sedang berhadap-hadapan ini terjebak dalam ekstremisme sikap yang berlebihan.
Untuk itu, dalam mempertahankan ruang publik yang bebas dan terbuka memang diperlukan etika sosial bersama dengan juga ditopang oleh ruleof law negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Mudah-mudahan kita tetap berada di alam demokrasi []

Jukung dan Budaya Sungai

JUKUNG DAN BUDAYA SUNGAI
Oleh: Irfannoor Laily Mansur
Mhs. S3 di Northern University of Malaysia


Festival Jukung Hias 2006 yang baru saja digelar dalam perhelatan Hari Ulang Tahun kota Banjarmasin ke-480 seakan-akan menjadi event di akhir tahun. Sungguh, festival itu benar-benar membuat saya mengelana ke masa lalu, sebuah masa kecil yang sering bermain-main di pinggiran sungai. Jika tidak berenang atau memancing, maka main jukung-jukung-an di atas sungai merupakan permainan yang amat membahagiakan di masa kecil itu. Di masa lalu di tahun 70-an hingga 80-an kita masih sering menyaksikan lalu lalang jukung-jukung di beberapa sungai kecil yang terdapat di jantung kota Banjarmasin.
Sekarang, pemandangan seperti itu sudah tidak lagi menghias wajah kota kita. Yang lebih menyedihkan lagi, kekotoran yang menghias sungai-sungai di kota Banjarmasin ini juga mulai menjangkiti sungai-sungai yang ada di daerah-daerah Hulu Sungai. Hampir sudah lazim saat ini, sungai-sungai di daerah ini dihiasi oleh sampah-sampai yang menimbulkan aroma yang membuat perut kita mual.
Tiba-tiba saja, ingatan masa lalu ini menyentak kesadaran saya untuk mencerna lebih dalam makna di balik perhelatan budaya yang begitu akbar itu untuk sekedar berefleksi perjalanan kota kita ini di tahun 2007 ke depan.

Budaya Banjar adalah Budaya Sungai
Sejak dulu, ketika kita berbicara tentang Banjar, maka salah satu keunikan geografis yang mencuat terhadap daerah ini adalah sungai-sungainya. Dengan menyesuaikan pada kondisi lingkungan yang ada, maka tidaklah mengherankan jika pemusatan penduduk di Kalimantan Selatan berbasis di tepian sepanjang sungai-sungai yang ada. Dengan keadaan seperti inilah, kehidupan sungai menjadi salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat Banjar (Bambang Sugiyanto: 2004).
Sehingga kita dapat saksikan bahwa di hampir semua tepian sungai-sungai di Kalimantan Selatan pasti terdapat kampung-kampung kecil. Pola pemukiman yang dikembangkan di tepian sungai-sungai itu pada awalnya berbentuk memanjang sepanjang tepian sungai dengan arah hadap rumah ke arah sungai. Tidak ada yang membangun rumah dengan membelakangi sungai. Bahkan pada perkembangan bentuk-bentuk rumah tradisional, masyarakat Banjar juga mengembangkan jenis rumah yang sangat akrab dengan sungai, yaitu bentuk rumah tradisional Lanting. Sayangnya, saat ini, rumah lanting tersebut sudah hampir punah.
Jelaslah di sini bahwa perahu atau jukung mempunyai peran yang sangat penting bagi penduduk di sepanjang sungai. Perahu menjadi satu-satunya alat transportasi untuk dapat menjangkau daerah sekitarnya, sekaligus berfungsi sebagai alat Bantu perdagangan dan keperluan lainnya. Mereka dapat mengangkut hasil pertanian atau perkebunan dan sekaligus menjualnya langsung dari perahu tersebut. Pertemuan ratusan perahu yang membawa hasil bumi dan barang kebutuhan hidup inilah yang membentuk apa yang sekarang disebut dengan “pasar terapung”. Lokasi berjual-beli yang dilakukan di atas air dengan perahu sebagai alat atau sarana yang utama. Saat ini masih bisa kita saksikan model pasar seperti ini sebagaimana yang terdapat di pinggiran sungai Kuin Cerucuk dan Lok Baintan (Bambang Sugiyanto: 2004).
Pola kehidupan yang kemudian terbentuk di sekitar ketiga sub-suku Banjar yang dilingkupi oleh kondisi geografis sungai itu adalah pola yang juga erat kaitannya dengan kondisi geografis yang khas pada daerah ini, yakni kebudayaan sungai. Di sisi yang bersamaan, daerah Banjar juga menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Islam yang secara geografis bisa dikategorikan sebagai wilayah pesisir. Wilayah pesisir ini, tentunya, merupakan kontras dari wilayah pedalaman. Islam di wilayah pesisir ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan Islam yang berada di pedalaman. Islam di wilayah pesisir, pada umumnya, adalah Islam kosmopolit karena memiliki kecenderungan yang sangat intens terlibat kontak dan interaksi dengan Islam yang datang dari luar. Dengan demikian, corak Keislaman masyarakat Banjar bisa diasumsikan sangat dipengaruhi oleh dinamika yang ada di luar wilayahnya.
Demikianlah pada umumnya kehidupan masyarakat Banjar pada beberapa puluh tahun yang lalu yang kental dengan budaya sungai. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa suatu kebudayaan atau budaya bukanlah sesuatu yang bersifat statis, tetapi merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Kebudayaan merupakan media manusia dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam agar dapat mempertahankan kehidupannya. Perubahan kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat wajar dalam rangkaian kehidupan manusia. Perubahan itu tentunya didasari oleh adanya perubahan kondisi lingkungan alam atau perubahan nilai-nilai yang terjadi pada masyarakat itu sendiri (Bambang Sugiyanto: 2004).

Budaya Sungai yang Termarjinalisasi
Seiring derap modernisasi yang dijalankan di daerah ini, perubahan pun terjadi dalam tata nilai urang Banjar. Budaya sungai urang Banjar lambat laun mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Sungai-sungai tidak lagi menjadi sesuatu yang terpenting dalam kehidupan urang Banjar. Dari sini penulis mulai berpikir lagi, modernisasikah yang salah atau kita sendiri yang salah memahami dan menerapkan modernisasi ?
Bagaimana tidak. Dulu kebudayaan Banjar berkembang dari kehidupan sungai, yang kemudian melahirkan tata nilai dan artifak-artifak budaya yang bernuasa sungai. Dari sungai, nenek moyak urang Banjar mendapatkan inspirasi untuk dapat mengembangkan pemukiman di atas rawa atau di dekat sungai dengan tetap mempertahankan kelestariannya, sehingga berdirilah bentuk-bentuk rumah panggung yang memang sangat sesuai bahasa alam yang ada di sekitarnya. Sementara di daerah pinggiran sungai, pendirian rumah-rumah panggung juga ditata apik sesuai dengan konsep dan tata nilai tradisional yang memandang sungai sebagai halaman atau teras rumah. Pandangan ini yang mengatur bahwa semua rumah yang dibangun di pinggiran sungai semuanya harus menghadap ke sungai, tidak boleh ada yang membelakanginya. Bahkan pemerintah Belanda pun pernah melarang pembangunan rumah yang membelakangi sungai di kota Banjarmasin.
Sekarang, atas nama modernisasi, pola-pola pembangunan pemukiman dan usaha telah mengalami perubahan. Hampir di semua sungai kita akan mendapati deretan perumahan atau warung-warung penduduk yang membelakangi sungai. Hampir semua rumah atau bangunan lainnya saat ini dibangun oleh urang Banjar dengan cara diuruk. Perubahan pola pemukiman masyarakat yang tidak lagi memandang sungai sebagai teras atau halaman depan sebuah rumah mengakibatkan perubahan pola pemukiman di sepanjang bantaran sungai. Pola pemukiman yang baru ini banyak mengambil lahan di atas sungai sehingga rumah-rumah tersebut mengurangi lebar badan sungai. Kejadian ini tentunya akan berdampak pada semakin cepatnya pendangkalan sungai-sungai sehingga sekaligus mengurangi daya tampung sungai terhadap limpasan air pada waktu hujan datang. Berkurangnya daya tampung ini akan pada menurunya atau hilangnya fungsi sungai sebagai pembagi aliran air pada saat pasang atau banjir dating, sehingga genangan air dapat segera dialirkan ke muara atau laut.
Sekarang ini juga, sungai-sungai di sepanjang jalan Ahmad Yani, Veteran, dan Soetoyo S sudah tidak berfungsi lagi. Selain tertutup oleh jembatan-jembatan yang dibuat tanpa memikirkan pola aliran air, sungai-sungai itu juga mengalami pendangkalan yang hebat akibat sampah-sampah yang bertebaran di mana-mana.
Tidak ada lagi budaya sungai yang sangat menjaga dan memelihara kebersihan dan kelestarian sungai tampaknya mulai luntur oleh lajunya denyut pembangunan. Masyarakat Banjar secara umum sudah tidak lagi memandang sungai sebagai sesuatu yang perlu dijaga dan dipelihara lagi. Perubahan tata nilai yang terkait dengan sungai sebagai sumberdaya air, jalur transportasi dan keperluan lain yang penting bagi kehidupan manusia mulai bergeser dengan adanya pembangunan jalan-jalan darat.
Beginikah potret budaya sungai masyarakat Banjar sekarang ini ? Akhirnya, tanpa kita sadari semua dengan hilangnya sungai-sungai yang membelah kota ini secara lambat laun telah menyebabkan pemiskinan budaya sungai di daerah ini. Padahal kita tahu semua bahwa budaya sungai merupakan sumber utama dari sistem atau tata nilai yang dihayati atau dianut masyarakat Banjar, yang selanjutnya membentuk sikap mental atau pola berpikir mereka.
Ini mungkin yang menjadi penyebab mengapa warga di daerah ini sangat susah diajak menjaga kebersihan dan eksistensi sungai, karena sungai-sungai sudah tidak berarti lagi bagi mereka. Ketidakberartian ini, tentunya, lantaran budaya sungai bukan lagi bagian tata nilai urang Banjar masa kini.

Dari Festival Jukung Menuju Pentas Revitalisasi Sungai
Di tengah-tengah budaya sungai yang sedikit demi sedikit mengalami peminggiran dalam arus modernisasi, budaya sungai pun tidak lagi menjadi tata nilai yang hidup di tengah masyarakat. Budaya sungai kini hanya bisa menjadi tontonan eksotis masa lalu dalam bentuk festival dan aset parawisata. Secara tidak sadar, kita justru telah melakukan proses fosilisasi dan mesiumisasi terhadap gejala-gejala budaya yang ada di masyarakat, hingga meletakkan hanya semata-mata gejala masa lalu.
Lalu ketika budaya sungai telah berganti dan sekedar tontonan, tidak ada lagi sumber utama dari sistem atau tata nilai yang bisa dihayati masyarakat untuk membentuk sikap mental atau pola berpikir urang Banjar masa kini dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Sikap mental inilah yang kemudian mempengaruhi dan membentuk pola tingkah laku urang Banjar masa kini yang kontra dengan lingkungannya. Adanya sungai bukannya untuk dimanfaatkan dan dikelola sebagai sumber daya kehidupan, namun kini perilaku umum urang Banjar telah berubah menjadi cenderung menistakan keberadaan sungai-sungai yang ada. Jika tidak dijadikan tempat membuang sampah, sungai-sungai diuruk untuk kepentingan ekonomis-individual semata. Tidak ada lagi nilai-nilai kelestarian.
Jika kita sepakat bahwa jukung adalah salah satu bentuk perwujudan material dari kebudayaan sungai, maka tentunya eksistensi kebudayaan sungai itu sendiri pastilah sangat ditentukan oleh keberadaan landasan pembentuk dari kebudayaan itu sendiri, yakni sungai.
Oleh karena itu, ketika ada usaha untuk kembali menghidupkan budaya sungai, maka mau tidak mau kita juga harus melakukan revitalisasi sungai-sungai itu sendiri sebagai landasan fisik kebudayaan sungai itu sendiri. Hal ini karena budaya hanya bisa berkembang dalam lingkup lingkungan yang juga bisa menjadi sarana pendukungnya. Upaya menghidupkan kembali budaya sungai karenannya haruslah dilakukan secara seiring antara menghidupkan wujud material budaya (jukung) dengan merevitalisasi landasan pembentuk budayanya (sungai). Tanpa begitu, kita akan secara sengaja mendudukkan budaya sungai hanya tontonan semata.
Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah daerah kini menyadari perubahan yang terjadi di masyarakat ini. Dan sudah saatnya kita sama-sama berusaha mentransformasikan Festival Jukung menjadi sarana dan momentum untuk merevitalisasikan sungai-sungai yang ada sebagai sarana penopang utama kelangsungan budaya sungai yang kita dambakan. Di sinilah diperlukan political will pemerintah untuk bersikap tegas terhadap setiap perilaku dan tindakan masyarakat yang cenderung merusak kelestarian sungai. Dan sudah saatnya pula pembangunan di kota ini lebih mempertimbangkan kelestarian sungai. Mudah-mudahan kita bisa. []
Irfan_albanjari@yahoo.com