Wednesday, April 25, 2007


POLIGAMI; Antara Ruang Privat Dan Negara
Oleh: Irfannoor Laily Mansur
Mhs. S3 Northern University of Malaysia


Kontroversi seputar poligami yang mencuat di jagat republik ini telah berlalu di lembar-lembar media kita. Dipicu oleh perkawinan kedua ustadz kondang Aa Gym dengan seorang janda cantik, kontroversi poligami pun selama berminggu-minggu merebak di mana-mana. Tidak tanggung-tanggung, kontroversi itu sempat mengusik perhatian seorang Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono.
Keterusikan sang Presiden itu diwujudkan dengan rencana revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk memperkuat dan memperluas PP. No. 45 Tahun 1990 tentang Poligami. Melalui revisi tersebut, pemerintah berkeinginan untuk memperluas cakupan aturan berpoligami bagi PNS hingga pejabat publik. Tanggapan pro-kontra pun mencuat tak terhindarkan, hingga akhirnya sang Presiden pun segera mengurungkan niat baiknya itu. Sang Presiden dituduh telah mencampuri urusan privat warganya.
Walaupun pro-kontra seputar pengaturan poligami telah berakhir di penghujung tahun lalu, bukan berarti pro-kontra itu tidak meninggalkan sisa masalah. Benarkah negara tidak berhak mengatur wilayah privat seseorang, seperti masalah berpoligami ?. Tulisan ini tidaklah bertujuan untuk membuka perdebatan, namun penulis ingin mengurai penjelasan dimana sesungguhnya wewenang negara dalam mengatur ruang privat masyarakat, seperti masalah berpoligami

Islam dan Poligami
Berbicara poligami dalam Islam mau tidak mau pasti merujuk pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3. Pada ayat ini secara tegas disebutkan tentang kebolehan seorang laki-laki untuk berpoligami, dengan bunyi ayat: “… fankihû mâ thâba lakum minan nisâ’i matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’a, fain khiftum allâ ta’dilû fawâhidah …” (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja). Dengan berpatokan pada ayat ini sesungguhnya poligami memang merupakan sesuatu yang dibolehkan dalam Islam.
Namun demikian, kebolehan atas perkara poligami ini, menurut beberapa pakar Islam, bukan berarti pula Islam sangat menganjurkan seorang laki-laki muslim berpoligami. Hal ini mengingat, secara historis, Nabi Muhammad SAW sendiri selama 28 tahun dari lebih dari 30 tahun berumah tangga setia dengan praktek monogami. Oleh karena itu, hanya sebentar saja dari hidup berumah tangganya, Nabi mempraktekkan poligami.
Bahkan, menurut riwayat, Nabi pernah marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah, akan dipoligami oleh Ali bin Abi Thalib. Nabi pun bersabda”Innî lâ ‘âdzan tsumma lâ ‘âdzan tsumma lâ ‘âdzan illâ an ahabba ‘ibn Abî Thâlib an yuthalliq ‘ibnatî (saya tidak akan izinkan, sama sekali, tidak akan saya ijinkan, sama sekali, tidak akan saya ijinkan, kecuali bila Ali ibn Abi Thalib menceraikan anakku terlebih dahulu). Kemudian Nabi bersabda lagi: “Fâthimah bidh’atun minnî, yurîbunî mâ ‘arâbahâ wa yu’dzînî mâ ‘adzâhâ” (Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya akan menyakiti hatiku juga).
Oleh karena itu, yang harus ditekankan dalam hal kebolehan berpoligami bagi laki-laki muslim ini adalah kebolehan yang sifatnya bersyarat, bukannya kebolehan yang begitu saja (taken for granted). Dengan adanya persyaratan ini dalam poligami, maka sudah tentu secara eksplisit poligami memiliki aturan yang harus dijalankan di dalam prakteknya. Karena memang sebagaimana yang ditunjukkan dalam bunyi ayat 3 pada surah An-Nisa: “fain khiftum allâ ta’dilû fawâhidah” (maka jika kamu takut untuk tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja), maka sesungguhnya tindakan berpoligami memang ada aturan.

Perlukah Poligami diatur Negara
Jika kemudian poligami secara eksplisit memiliki aturan yang harus dijalankan di dalam prakteknya, lalu siapakah yang berhak menjadi penjaga aturannya ? Apakah aturan ini cukup diserahkan pada urusan moral individual semata ? Ataukah aturan ini harus dilembagakan ke dalam sebuah institusi yang diakui di masyarakat ?
Secara prinsipil, al-Qur’an menggariskan prinsip keadilan sebagai dasar tindakan seorang laki-laki muslim untuk berpoligami. Namun kemudian yang menjadi persoalan adalah cukupkah perkara keadilan bagi seseorang dalam berpoligami ini hanya merupakan urusan moral seseorang semata ?
Jika kita kemudian merujuk lagi pada ayat 129 surah An-Nisa: “walan tashtatî’û an ta’dilû bainan nisâ’ walaw harashtum” (Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri[mu] walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian), maka sesungguhnya perkara keadilan sangatlah bersifat abstrak. Keadilan tidak bisa diukur hanya semata-mata dengan distribusi material semata. Tetapi keadilan juga menyangkut urusan yang bersifat psikologis dan sosial.
Hal ini karena ketika kita berbicara tentang keadilan sebagai sebuah prinsip moral, maka mau tidak mau kita juga harus mengkaitkannya dengan apa yang menjadi pandangan hidup dalam suatu masyarakat. Keterkaitan antara keadilan sebagai prinsip moral dengan pandangan hidup masyarakat inilah yang menjadikan nilai keadilan itu tidak berdiri sendiri tapi menjadi sesuatu yang bersifat kontekstual. Hal ini karena pandangan hidup itu selalu merefleksikan apa yang menjadi sistem sosial dari masyarakat tersebut.
Oleh karenannya, ketika sistem sosial yang menjadi basis dari masyarakat tersebut adalah sistem patriarkhi, maka pandangan hidup yang berkembang di masyarakat pun biasanya cenderung menempatkan perempuan sebagai objek yang bersifat subordinatif. Ketika pandangan hidup ini menjadi kerangka dasar seseorang dalam melihat prinsip moral tentang keadilan, maka ia pun cenderung menempatkan laki-laki sebagai suatu ukuran nilai. Oleh karena itu, apa yang menjadi representasi moral dalam sistem sosial yang demikian adalah bentuk-bentuk imperatif atas subordinasi terhadap perempuan. Tentunya, dalam posisi seperti ini, akan menjadi sia-sia berbicara tentang moral keadilan bagi suatu hubungan laki-laki dan perempuan sebagai urusan individual laki-laki ketika kesetaraan bukan menjadi sistem sosial di masyarakat. Di Indonesia sendiri, sebagaimana yang diyakini oleh para pakar, sistem sosial yang berlaku secara kultural adalah sistem sosial patriakhi, sehingga sangat rentan untuk menafsirkan keadilan berpoligami secara bias gender.
Inilah titik perkara persoalan yang menjadi kontroversi mengapa negara merasa perlu ikut campur dalam urusan poligami masyarakatnya. Perkaranya adalah masyarakat kita secara kultural bersifat patriarkhi, sehingga tidak kondusif menyerahkan urusan adil dalam berpoligami semata-mata hanya pada urusan moral individual laki-laki. Bagaimanapun dengan konstruksi moral sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka keadilan yang akan dijalankan dalam praktek berpoligami akan dikhawatirkan merepresentasikan sistem sosial patriakhal yang cenderung mensubordinasi perempuan. Muaranya, perempuan akan menjadi objek yang sangat rentan dengan kekerasaan.
Dengan demikian, bila kita sepakat dengan keadilan sebagai landasan poligami, maka mau tidak mau keadilan yang menjadi prinsipnya haruslah ditransformasikan menjadi sesuatu yang lebih objektif. Keadilan objektif inilah yang sesungguhnya menjadi logika atas turut campurnya negara dalam urusan poligami warganya. Negara, dalam hal ini, punya hak melindungi dan berpihak pada usaha melepaskan ketidakadilan dan kekerasan yang akan menimpa kaum perempuan. Mengapa demikian ? Karena perempuan juga adalah warga negara yang absah di negeri ini.
.
Negara dan Ruang Privat Masyarakat
Bila kita berbicara tentang wilayah privat selalu saja kita cenderung mengasosiasikannya dengan sesuatu yang steril dari campur tangan negara. Pada hal kenyataannya, sampai batas-batas tertentu, wilayah privat juga memerlukan campur tangan tertentu dari negara. Hal ini karena total begitu saja menolak campur tangan negara atas masyarakat sipil sama artinya dengan membiarkan berkembangnya liberalisme individual. Demokrasi yang hanya terfokus pada pengurangan total intervensi negara hanya akan menjadi arena politik yang menguntungkan para pemilik modal dan elite yang berkuasa. Dan ketika sistem demokrasi model ini diterapkan dalam konteks sistem sosial yang bersifat patriakhal, maka yang biasa pertama kali menjadi korban adalah kaum perempuan. Di sini, perempuan akan mengalami proses pemarjinalan dalam kontestasi sosialnya karena posisinya yang tidak setara dan subordinatif dari laki-laki sehingga tidak memiliki posisi tawar yang cukup menguntungkan dalam melakukan berbagai kontestasi.
Jika memang demikian, bagaimana kemudian kita bisa menilai campur tangannya negara atas wilayah privat masyarakat sebagai sebuah bentuk intervensi dengan bentuk kepedulian dan keberpihakan negara atas perjuangan misi keadilan yang dijalankan di masyarakat ?
Secara konseptual roh negara adalah regulator. Melalui berbagai aturan yang dibuatnya, negara bisa melakukan campur tangan negara dalam mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Secara teoritis, ada dua macam bentuk campur tangan negara tersebut. Pertama, campur tangan negara dalam bentuk kebijakan mengeluarkan berbagai regulasi yang membatasi hak-hak sipil warganya untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan interaksi sosial satu sama lainnya. Kedua, campur tangan negara dalam bentuk kebijakan menjalankan kewajibannya untuk menyediakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak bagi warganya. Kewajiban ini biasanya ditempatkan di bawah kategori hak-hak sosial-ekonomi warga.
Menyangkut persoalan poligami, misalnya, negara bisa dikatakan melakukan intervensi bahkan represi ketika ia melarang sama sekali praktek poligami yang secara prinsipil diyakini oleh umat Islam sebagai praktek yang boleh. Pelarangan menjadi sesuatu yang melanggar hak asasi seseorang untuk meyakini sebuah keyakinan tertentu. Namun ketika negara, dalam urusan poligami ini, hanya melakukan regulasi semata demi tegaknya keadilan yang lebih objektif, maka turut campur dalam hal ini merupakan kewajiban negara itu sendiri.
Mengapa menjadi kewajiban negara melakukan regulasi atas poligami ini ? Jawabnya tidak lain, untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Hal ini perlu sekali dilakukan oleh negara karena masyarakat Indonesia yang umumnya masih menganut sistem sosial patriarkhi, menurut para pakar, berpotensi menjadikan poligami sebagai arena kontestasi kekerasan terhadap perempuan. Di sinilah negara sekali lagi wajib melindungi dan berpihak kaum perempuan yang rentan atas kekerasaan. Karena perempuan juga adalah warga negara yang absah di negeri ini. Bahkan, menurut penulis, perlindungan ini juga harus diperluas pada perempuan-perempuan yang menjadi objek dari praktek-praktek pernikahan tidak resmi.
Apalagi kalau kita perhatikan bahwa keinginan pemerintah untuk melakukan revisi UU tersebut bukan dalam rangka pelarangan tapi lebih bersifat regulatif. Dan fokusnya pun bukan seluruh elemen masyarakat, tapi PNS dan para public figure. Kenapa public figure perlu diregulasi ? Jawabannya, tentu, bukan karena Aa Gym telah berpoligami. Jawabannya adalah karena umumnya masyarakat Indonesia secara kultural masih bersifat paternalistik, maka public figure seharusnya dapat memberikan contoh-contoh yang terbaik bagi masyarakatnya. Apalagi public figure yang dimaksud adalah public figure dalam kategori pejabat negara yang menerima penghasilan dari negara. Sungguh ironis jika seandainya pejabat negara memiliki banyak istri sehingga cenderung membenarkan pejabat negara itu memang banyak duitnya. Rasanya memang tidak etis jika pejabat negara dalam kondisi negara yang lagi terpuruk ini pamer kemampuan dalam memiliki istri lebih dari satu.
Dengan demikian, kita seharusnya lebih berhati-hati dalam bereaksi untuk menolak setiap bentuk campur tangan negara. Jangan-jangan reaksi penolakan kita tersebut justru menjebak kita pada kepentingan kelompok elite tertentu, bukannya kepentingan Islam itu sendiri. Wallahu a’lam bishawab. []



No comments: