Sunday, April 29, 2007



Membangun Kearifan Ruang Publik
Oleh: Irfannoor Laily Mansur
Mhs. S3 Northern University of Malaysia, Asal Banjar


Kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras di Indonesia pasca reformasi, memang, memancing debat terbuka di kalangan para ahli. Memang, hampir di semua masyarakat muslim, agama adalah persoalan publik yang sangat terkait dengan politik. Asumsi bahwa agama hanya akan menjadi urusan pribadi seperti yang oleh para pengamat telah terjadi di sebagian negara di Eropa Barat, nampaknya tidak berlaku untuk masyarakat muslim.
Di Indonesia sendiri, kehadiran agama di ruang publik diartikulasikan oleh para aktivisnya dengan wacana “Penegakan Syari’at Islam”. Dengan menguatnya wacana ini di ranah politik kebangsaan secara langsung dan sengaja telah menandai salah satu ciri dari proses transisi demokratis yang sedang berjalan di negeri ini, dimana sebelumnya di era Orde Baru fenomena ini sangat ditabukan.

Agama dan Ruang Publik
Kebebasan ruang publik pasca reformasi ini memang tidak hanya dapat dinikmati oleh kelompok-kelompok yang selama ini mendorong demokratisasi di negeri ini. Kelompok-kelompok yang selama ini anti demokrasi juga sangat menikmati kehadiran ruang publik yang bebas ini. Di ranah keagamaan, kelompok-kelompok anti demokrasi yang saat ini begitu menikmati dan memanfaat situasi kebebasan ruang publik ini, antara lain Laskar Jihad, FPI, HTI, MMI, dan kelompok lainnya.
Jika sebelumnya, hanya kelompok-kelompok Islam beraliran moderat saja yang bisa menempati ruang publik yang disediakan oleh negara, maka saat ini justru kelompok-kelompok Islam yang beraliran garis keraslah yang justru hampir mendominasinya.
Jika sebelumnya wacana yang memenuhi ruang publik bangsa ini berkisar seputar “Islam Keindonesiaan”, maka saat ini wacana tersebut mulai terpinggirkan oleh gerakan dan wacana “Penegakan Syari’at Islam”. Dan Nalar hubungan Islam dan negara pun mengalami perubahan yang amat dramatis. Jika sebelumnya, nalar yang berkembang adalah nalar substansiasi Islam terhadap negara, maka saat ini nalar Islam sebagai ideologi alternatif menjadi telah berhasil menjadi diskursus tandingannya.
Di saat terjadinya transformasi kekuatan kelompok kepentingan di ruang publik negeri ini dari moderat ke radikal, kita menjadi dapat menyaksikan bagaimana fragmentasi otoritas keagamaan di negeri ini menjadi makin berkembang. Tidak ada lagi penafsir-penafsir keagamaan yang begitu sentral. Tidak ada lagi lembaga atau perorangan yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya suara kebenaran. Ruang publik telah membuka kesempatan yang luas bagi setiap orang untuk memilih, berdebat, dan menawarkan tafsiran lain terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Jika dulu, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid mampu menempatkan diri sebagai lokomotif utama Islam Indonesia, maka saat lokomotif itu sudah terfragmentasi kepada lokomotif-lokomotif lain dengan gerbong-gerbong yang amat beragam. Ja’far Umar Thalib, Abu Bakar Ba’asyir, Habib Riziq Shihab dan adalah sedikit nama yang mulai menjadi lokomatif Islam di negeri ini.

Kebebasan Ruang Publik dan Anarkhisme Sosial
Dilihat dalam perspektif demokrasi, kehadiran beragam kelompok kepentingan di ruang publik dalam menyuarakan pendapat dan keyakinan adalah bagian dari kehidupan demokrasi yang sesungguhnya. Kondisi ini tentunya amat berbeda dengan kondisi Orde Baru yang sangat menutup diri bagi kehadiran beragam kelompok-kelompok kepentingan. Di bawah rambu-rambu SARA, pemerintah Orde Baru seringkali membatasi apa yang bisa dikemukakan oleh masyarakat ke ruang publik. Sementara negara pasca reformasi tidak lagi sepenuhnya mengontrol dan mengendalikan ruang publik. Saat ini hampir tidak ada legitimasi negara dalam menafikan hak hidup bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan garis keras.
Seharusnya, memang, sebagaimana yang diidealkan sendiri oleh Jurgen Habermas, ruang publik yang berada di luar kontrol negara mampu memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang egaliter dan toleran. Dengan keterbukaan dan egalitarianisme ruang publik ini, masyarakat dapat berdiskusi dan berdebat mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Muaranya, tidak ada lagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasikan di ruang publik yang menjadi arena kontestasi kepentingan bersama ini.
Namun sayangnya, ruang publik Pasca Reformasi yang bebas ini ternyata tidak dengan sendirinya melahirkan budaya politik yang toleran dan terbuka di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Penegakan hukum yang lemah justru telah menyeret beberapa kelompok kepentingan Islam garis keras menjadi polisi “jadi-jadian” di jalanan. Akibatnya, terjadilah pengusiran atas kelompok-kelompok Islam yang dianggap “tidak resmi”. Kebebasan berekspresi di alam demokrasi justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tersebut untuk menafikan hak berkebebasan kelompok lainnya. Di sini, tampak sekali, demokrasi telah dijadikan sebagai “kuda troya” untuk memaksakan kehendak suatu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam berhaluan liberal pun tak kalah gencar memanfaatkan kebebasan ruang publik yang ada. Dengan ditopang kekuatan modal sosial yang dimilikinya, kelompok-kelompok ini pun merengsek masuk ke wilayah-wilayah penafsiran yang sensitif bagi kelompok-kelompok lainnya. Akhirnya, kelompok ini hadir laksana “hantu” gentayangan yang mengusik kenyamanan beragama kelompok lainnya.
Akibatnya tidak ada lagi bahasa kesopanan dan hormat menghormati, serta toleransi antara kedua belah pihak. Keterbukaan ruang publik justru melahirkan kebalikan cita-cita ideal demokrasi. Fragmentasi dan penyebaran otoritas yang diciptakan oleh keterbukaan ruang publik justru makin memperkuat anarkhisme di tengah-tengah transisi demokrasi di negeri ini. Kebebasan ruang publik yang tidak diikuti oleh peningkatan kinerja rule of law negara justru berakibat makin maraknya gerakan-gerakan anti demokrasi di tanah air akhir-akhir ini.

Ruang Publik yang Egaliter dan Spirit Multikulturalisme
Berbekal dari fenomena di atas, sudah sepatutnya kita mulai memikirkan bentuk keterlibatan kita sendiri di ruang publik bangsa ini. Jika kita sepakat bahwa ketertutupan ruang publik sebagaimana yang dipentaskan oleh Orde Baru telah menyebabkan sebagian dari saudara-saudara kita mengalami proses marjinalisasi secara politik dan ideologi, maka seharusnya kita juga harus menyadari sepenuhnya bahwa radikalisme dan militansi yang terjadi pada sebagian saudara-saudara kita yang mengusung bendera “Penegakan Syari’at Islam adalah akibat yang nyata dari proses marjinalisasi yang selama ini mereka rasakan. Ruang publik terbuka dan bebas akhirnya bukan dijadikan saran berdemokrasi, tapi justru show of force kelompok terhadap kelompok lainnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya momen keterbukaan ruang publik yang saat ini sama-sama kita nikmati justru bisa membawa kita pada pemahaman bahwa toleransi dan egalitarianisme merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan ruang publik yang terbuka ini. Dengan demikian, sudah saatnya kita memikirkan bagaimana menumbuhkan budaya toleran dan egaliter di tengah-tengah ruang publik yang bebas.
Bentuk toleransi dan egalitarianisme itu dapat diwujudkan melalui sikap-sikap tidak merasa benar sendiri atas kelompok yang lain. Janganlah dalih kebenaran membuat kita menjadi bersikap pongah untuk memaksa nilai-nilai yang kita yakini untuk diikuti oleh orang lain. Kepongahan itu tampaknya saat ini bukan hanya milik sepenuhnya kelompok-kelompok yang dituduh “radikal dan fundamentalisme”, tapi juga merambah pada kelompok-kelompok yang katanya pro-demokrasi Barat. Akibatnya, kelompok yang terakhir ini juga bisa kita tuduh “fundamentalis” karena merasa selalu paling benar dan tanpa sopan santun menafsirkan secara bebas nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok lain. Sehingga kedua kelompok yang sedang berhadap-hadapan ini terjebak dalam ekstremisme sikap yang berlebihan.
Untuk itu, dalam mempertahankan ruang publik yang bebas dan terbuka memang diperlukan etika sosial bersama dengan juga ditopang oleh ruleof law negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Mudah-mudahan kita tetap berada di alam demokrasi []