Thursday, May 17, 2007

HAJI DAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Irfannoor Laily Mansur


Musim haji 2006 telah tiba. Ratusan ribu, atau tepatnya sekitar 205.000 calon haji Indonesia sedang menjalani pemberangkatan ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Khusus untuk Kalimantan Selatan sendiri, yang akan berangkat sekitar 3.477 orang. Calon haji yang banyak tersebut diberangkat secara bertahap dari tanggal 28 Nopember hingga 25 Desember. Meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia ke tanah suci, Mekkah, dari tahun ke tahun memang patut disyukuri. Peningkatan ini, selain dikarenakan adanya sarana transportasi yang baik, juga tidak lepas dari makin meningkatnya kualitas keberagaman umat Islam di Indonesia.
Naik haji, bagi umat Islam, memang merupakan bagian dari kewajiban ibadah yang pokok, selain sholat, puasa dan zakat. Ia merupakan ibadah yang merefleksikan napak-tilas peristiwa yang terjadi pada keluarga nabi Ibrahim sekitar 4.000 tahun silam. Peristiwa tersebut adalah sebuah bentuk pengajaran Tuhan untuk keluarga Ibrahim dan umat Islam umumnya tentang pentingnya pembebasan diri dari segala bentuk ketergantungan kecuali pada Sang Khalik, yang dalam skemata ajaran Islam kemudian disebut sebagai Tauhid Uluhiyah. Begitu tingginya ajaran yang tertanam dalam kewajiban ibadah haji, maka sangat mengherankan jika muncul kecenderungan dalam pelaksaan haji ini lebih banyak berorientasi rekreatif dan simbolik daripada menangkap inti ajarannya sendiri.
Oleh karena itu, kewajiban menunaikan ibadah haji yang sesungguhnya harusnya tidak hanya akan membawa dampak yang bersifat ritualistik semata bagi yang melaksanakannya, namun jauh lebih dari itu, ibadah haji juga akan membawa dampak pada peran sosial seseorang di tengah-tengah masyarakat.
Apa yang menjadi harapan di atas sesungguhnya bukanlah mengada-ngada. Dalam sejarah Islam Nusantara, sesungguhnya para haji pernah menciptakan peran yang amat besar bagi perubahan sosial di negeri ini. Peran tersebut tidak saja menyangkut terbentuknya jaringan pembaharuan Islam di Nusantara pada abad ke-18 dan 19, tetapi juga menyangkut gerakan perlawanan rakyat di zaman kolonial sekitar akhir abad ke 19. Di Kalimantan Selatan, misalnya, sejauh menyangkut hubungan haji dengan revitalisasi Islam di wilayah ini, peranan yang amat penting telah dimainkan secara amat mengesankan oleh para haji, baik di bidang pembaharuan awal Islam maupun perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis akan mengulas sumbangsih para haji di masa lalu sebagai bahan refleksi kita dalam melihat fenomena naik haji di masa sekarang yang cenderung bersifat ritualistik dan rekreatif.

Pembaharuan Islam Abad 18 dan 19 di Nusantara
Sejarah orang Nusantara naik haji telah dimulai sejak 1500-an. Konon gelombang orang Nusantara ke Mekkah memperoleh momentumnya sejak awal abad ke-16 ketika dimulainya kekuasaan Turki Utsmani di Semenanjung Arabia dan kebanyakan Afrika Utara. Dampak yang nyata dari tampilnya kekuasaan Utsmani di wilayah Timur Tengah ini adalah diperbaikinya keamanan rute-rute haji di sekitar Haramain (Mekkah dan Madinah). Efek selanjutnya adalah dibukanya kembali Jeddah sebagai pelabuhan utama Laut Merah, yang akhirnya menjadikan Jeddah menjadi pelabuhan internasional. Kebangkitan Jeddah menjadi pelabuhan dengan reputasi internasional menarik tidak hanya bagi pedagang, tetapi juga bagi mereka yang ingin naik haji ke Mekkah dari kalangan bangsa-bangsa Melayu. Minat naik haji ini makin meningkat ketika dibukanya Terusan Suez pada 1869 seiring beroperasinya juga perusahaan-perusahaan kapal swasta yang berorientasi laba.
Diperkirakan pada tahun 1850-an dan 1860-an jumlah rata-rata orang Nusantara yang naik haji setiap tahun ke Mekkah sekitar 1.600, pada tahun 1870-an, angka itu meningkat menjadi 2.600, dan melonjak menjadi 4.600 pada tahun 1880-an, dan mencapai lebih 7.000 pada akhir abad ke-19. Konon, di antara sekian banyak jumlah haji tersebut, para haji Banjar sebelum pecahnya perang Banjar merupakan yang terbesar jumlahnya di kepulauan Nusantara. Rata-rata jumlah haji dari Banjar saat itu, menurut catatan Rheinische Missionsgesellschaft, 100 – 200 orang tiap tahun.
Dalam pandangan Snouck Hurgronje yang tinggal di Mekkah pada 1884/1885: “Jarang ada bagian dari dunia Muslim mana pun yang proporsi antara jumlah penduduk dan orang naik haji setiap tahunnya yang lebih tinggi daripada kepulauan Malaya”. Selain signifikannya jumlah orang, Hurgronje menambahkan, “Banyaknya buku-buku berbahasa Melayu yang diterbitkan di Mekkah dari 1884 hingga awal abad 20 menjadi bukti mengenai pentingnya elemen koloni Jawa di kota suci ini”.
Lalu motivasi apa yang telah mendorong orang-orang Nusantara pergi naik haji pada masa itu ?. Bagi orang-orang Nusantara masa itu, sebagaimana yang diamati oleh Hurgronje, naik haji ke Mekkah dimaksudkan bukan hanya untuk mengunjungi kota suci dan bangunan suci semata, namun lebih dari itu naik haji bagi orang Nusantara juga dimanfaatkan untuk memperbaiki praktek-praktek dan pengetahuan keagamaan mereka. Melalui jaringan ulama “Haramain” yang didatangi oleh orang-orang Nusantara di sepanjang rute perjalanan haji ini, terbentuklah jaringan ulama Nusantara yang dikenal dengan sebutan koloni jawah (ashhab al-Jawiyyin) yang pada akhir abad itu merupakan koloni terbesar dan paling aktif di Mekkah. Istilah “Jawi”, meskipun berasal dari kata “Jawa”, merujuk kepada tiap orang yang berasal dari Nusantara.
Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika hingga akhir abad ke-19, “reformisme Islam” menjadi wacana dan ideologi di kalangan jaringan ulama Haramain. Kelak melalui koloni jawah inilah terbentuk jaringan ulama Nusantara yang memiliki peran sangat signifikan bagi pembentukan “embrio” pembaharuan awal Islam di Nusantara. Figur-figur penting ulama masa ini yang mencerminkan jaringan ulama “Haramain”, di antaranya Nur al-Din al-Raniri (1658), ‘Abd al-Rauf al-Sinkili (1615), Muhammad Jusuf al-Maqassari (1627), hingga ‘Abd al-Samad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Muhammad Nawawi al-Bantani (1815-1898), dan Syeikh Achmad Khatib (1860-1916).
Pengaruh dari paham reformisme Islam ini ditunjukkan secara nyata ketika Syeikh Arsyad al-Banjari melakukan koreksi atas arah kiblat dari beberapa masjid di Jakarta dan penolakannya untuk mengajarkan ajaran tasawuf berhaluan wujûdiyyah. Penolakan Syeikh Arsyad al-Banjari ini sangat baik terdekomentasikan dalam karyanya Risâlah Tuhfah ar-Râgibîn fî Bayâni Haqîqah Îmân al-Mu’minîn wama Yufsiduh min Riddat al-Murtaddîn. Risâlah. Pengaruh itu juga tampak jelas dalam sikap dan tindakan yang dilakukan oleh dua ulama besar lainnya, seperti Syiekh Nawawi Banten dan Syeikh Achmad Khatib.
Dengan tidak sekedar mengunjungi kota suci Mekkah untuk memperoleh “gelar haji” yang nantinya bisa meningkatkan status sosial di tanah air, para haji ini di masa lalu mampu memperoleh manfaat yang besar dari kunjungannya ke tanah suci tersebut. Manfaat yang besar tersebut, misalnya, bisa dilihat dari peran yang signifikan yang telah dimainkan oleh Syeikh Arsyad al-Banjari pada masyarakat Banjar setelah kepulangannya dari Mekkah.
Walau telah diakui bahwa proses intensifikasi penyebaran Islam di daerah ini terjadi sejak berdirinya Kesultanan Banjar, tetapi proses peningkatan pengetahuan keislaman secara lebih intensif di masyarakat Banjar itu sendiri baru terjadi ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kembali dari Mekkah pada tahun 1772 (dalam usia 64 tahun) atau masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I, setelah 30 tahun lamanya belajar di sana.
Konon kepulangan Syekh Arsyad dari Mekkah disambut penuh antusias oleh pihak kesultanan dan warga Kerajaan Banjar. Sultan Tamjidillah I (1745-1778) sangat menghormatinya dan menghadiahkan sebidang tanah perbatasan + 5 km dari Martapura, tempat kedudukan Keraton pada saat itu. Tanah pemberian itu kemudian dibangun oleh Syekh Arsyad sebagai wilayah pemukiman dan tempat diselenggarakannya pengajian-pengajian agama yang beliau asuh. Tempat inilah yang di kemudian hari berkembang menjadi kampung “Dalam Pagar”. Pengajian tersebut konon banyak menghasilkan tokoh-tokoh ulama yang kemudian tersebar ke seluruh pelosok Banjar dan tempat-tempat lain di Kalimantan, dan bahkan ke Sumatera.

Gerakan Perlawanan Rakyat di Zaman Kolonial
Di samping menghasilkan peran sosial-keagamaan yang demikian, puncak dari keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama “Haramain” ini juga mampu menciptakan sebuah identitas kolektif dan sebuah kesadaran akan kesatuan kultur Islam yang sama-sama mereka miliki. Pengaruh dari penciptaan identitas kolektif ternyata sangat signifikan dalam membentuk kesadaran harga diri sebagai orang pribumi di hadapan bangsa kolonial yang sedang menguasai tanah Nusantara. Dari kesadaran inilah, bibit gerakan perlawanan rakyat mulai terbentuk di beberapa wilayah di Nusantara.
Sebagai bukti historis tentang hubungan haji dengan gerakan perlawanan di Nusantara, dapat dilihat dari bagaimana pemerintah kolonial membuat kebijakan tentang haji masa itu. Setidaknya, karena adanya keterlibatan yang nyata para haji dalam pemberontakan-pemeberontakan pribumi sepanjang abad ke-19, pemerintah kolonial pada 1825, 1831, dan 1859 mengeluarkan beragam aturan (ordonnantie) yang bermaksud membatasi keberangkatan haji orang Nusantara (Dhofier, 1982: 11-12). Namun, pembatasan-pembatasan itu tidak menciutkan hati orang-orang muslim nusantara untuk naik haji. Untuk menghindari dari aturan-aturan pemerintah kolonial tersebut, orang-orang nusantara yang hendak naik haji melakukan perjanan via Singapura, tempat ketika peraturan-peraturan Inggris tidak terlalu ketat.
Memang, dulu di zaman kolonial Belanda, para haji sangat dikenal sebagai pemberontak. Sejauh menyangkut hubungan antara Islam dan perlawanan di Amuntai yang merupakan wilayah konsentrasi Islam dari Kerajaan Banjar, peranan yang amat penting dimainkan oleh para haji. Dalam stratifikasi sosial masyarakat Banjar umumnya, dan Amuntai khususnya pada abad ke-19, para haji memang menjadi elite kaum muslim Banjar. Sejumlah besar haji di Kalimantan Selatan berasal dari kelompok terbesar dari daerah Amuntai (Banua Lima) wilayah Kesultanan Banjar. Sejumlah haji dan para pemimpin perlawanan tersebut menggunakan tarekat tertentu dalam bentuk gerakan Baratib Baamal (Sjamsuddin, 2001: 270-1).
Para pemimpin perlawanan Banjar dan haji-haji yang ikut mengambil bagian dalam memimpin perlawanan tahun 1859 menafsirkan Jihad sebagai Perang Sabil melawan orang-orang Belanda “kafir” dan para pendukungnya. Ekspansi Belanda, yang diikuti dengan pemerintahan kolonial di Kalimantan Selatan dianggap sebagai perluasan kekuasaan “orang-orang kafir”. Sebagai konsekuensi dari sikap ini, kaum muslim mempunyai hak untuk melancarkan suatu perang suci sebagai tindakan ofensif. Penyerangan dan pembunuhan orang-orang Eropa di tambang-tambang batubara Pengaron dan Kalangan (April 1859) dan para misionaris di pulau Petak dan di daerah sungai Kahayan bawah (Mei 1859) tampaknya merupakan tindakan ofensif mereka. Rheinische Missionsgesellschaft mengklaim bahwa pembunuhan terhadap misionaris itu bukan suatu tindakan anti-Kristen, tetapi lebih merupakan anti-kulit putih pada umumnya. Dalam kekeruhan yang amat membingungkan, sulit kiranya bagi mereka yang melakukan pemberontahan untuk membedakannya.
Demikianlah peran yang sangat besar yang telah dimainkan oleh para haji masa itu. Sejauh yang telah dimainkan oleh mereka, para haji masa itu mampu memanfaatkan simbol-simbol religius yang mereka miliki untuk sebuah kepentingan perubahan dalam masyarakatnya. Peran-peran seperti ini jugalah yang telah dimainkan oleh para haji dalam Perang Aceh, Perang Diponegoro, dan daerah lainnya di Indonesia.

Haji dan Keshalehan Sosial
Apa yang sesungguhnya ingin penulis sampaikan dalam dua penjelasan di atas adalah beragama tidaklah cukup hanya dengan mengerjakan segi-segi formal keagamaan, seperti sholat, puasa, haji dan kewajiban lainnya. Keagamaan yang sejati menuntut adanya wujud nyata konsekuensi ibadah, yakni amal kebajikan. Bukankah Allah SWT sendiri telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang berbunyi: “Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan mukamu ke timur dan ke barat. Tetapi kebajikan itu ialah jika orang-orang yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab-kitab Suci dan para Nabi; dani juga mereka yang mendermakan hartanya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang terlantar di perjalanan, peminta-peminta, dan untuk membebaskan para budak, betapapun cinta orang itu kepada harta itu; dan mereka yang menepati janji jika membuat janji, serta mereka yang tabah dalam kesulitan, kesusahan, dan masa perang. Mereka itulah orang-orang yang benar (tulus) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (Q.S. al-Baqarah: 177).
Jadi, agama kita mengajarkan bahwa formalitas ritual belaka tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriyah itu akan menghantarkan kita menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih essensial.
Oleh karena itu, jika memang haji merupakan bentuk pengajaran Tuhan tentang pentingnya pembebasan diri dari segala bentuk ketergantungan kecuali pada Sang Khalik, maka tidak layak kiranya jika motivasi naik haji hanya sekedar untuk memperoleh identitas simbolik, yang kemudian lupa atas tanggung jawab sosial kita pada masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, kezholiman, ketidakadilan dan lain-lain []
Penulis adalah Dosen IAIN Antasari, sedang melanjutkan ke Program Ph.D (S3) di negeri jiran Malaysia.