Tuesday, June 26, 2007

Malaysia dan Masalah TKI
Oleh: Irfan Noor Laily Mansur
Mhs. S3 di Northern University of Malaysia, asal Banjar.


Tragedi kemanusian kembali lagi menimpa tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Sebagaimana yang diberitakan, seorang TKW asal Brebes bernama Ceriyati mencoba lari dari sebuah Kondominium lantai 15 di Kuala Lumpur. Aksi nekadnya terpaksa dilakukan karena sudah tidak tahan dengan perlakuan majikannya yang sering menyiksanya.
Mungkin masih banyak Ceriyati-Ceriyati lain yang bernasib sama, tapi mereka tidak tahu bagaimana harus mengelak dari kekejaman majikannya. Kenapa kasus mengenaskan ini kembali terjadi pada tenaga-tenaga kerja kita ? Yang mengherankan, kasus ini terjadi di Malaysia yang konon merupakan negara serumpun dengan Indonesia.

***

Saat ini, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia mempunyai rekor tertinggi mencapai 1,2 juta orang dibandingkan dengan negara pengirim tenaga kerja lainnya seperti Filipina, Thailand, Bangladesh dan lain-lain. Kuantitas pekerja Indonesia yang mencapai 60 persen dari seluruh pekerja asing di Malaysia seharusnya mewujudkan adanya hubungan simbiosis mutualisme antara Indonesia sebagai negara pengirim (sender) dan Malaysia sebagai penerima (receiver). Namun, akibat sistem perlindungan yang lemah, tenaga kerja sering menjadi korban atas praktek-praktek mafia kejahatan kemanusiaan, baik yang dilakukan oleh perorangan ataupun agensi-agensi yang tidak bertanggung jawab.
Mengapa kehadiran TKI seharusnya mewujudkan adanya hubungan simbiosis mutualisme antara Indonesia sebagai negara pengirim dan Malaysia sebagai penerima ? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan menarik persoalan ini kepada akar historis keberadaan TKI di Malaysia.
Keberadaan TKI di Malaysia tidak bisa dilepaskan dari pertemuan rahasia Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Tun Abdul Razak awal tahun 1974. Pertemuan politis itu memutuskan perlunya mendatangkan TKI ke Malaysia. Pemerintah Malaysia hendak mengimbangi jumlah etnik Cina yang dikhawatirkan bisa mengancam ketahanan politik etnik Melayu. Soalnya, Pemilu 1969 menunjukkan indikasi politik demografi yang mencemaskan Partai UMNO. Kerusuhan rasial 13 Mei 1969 memunculkan formula baru Pemerintah Malaysia yang bertuankan dan memberi hak istimewa kepada etnik Melayu.
Pasca pertemuan dua pemimpin negara serumpun tersebut, sekitar tahun 1975 gelombang pertama ratusan ribu TKI menyeberang ke Malaysia. Mereka mula-mula bekerja di sektor pendidikan, perdagangan, jasa, dan pertanian. Malaysia bahkan mengimpor ratusan guru dan dosen untuk membantu ketahanan politik Melayu.
Politik kedatangan orang Indonesia dinilai berhasil. Orang Indonesia yang datang ke Malaysia pada gelombang pertama itu kebanyakan sudah menjadi warga negara Malaysia. Keturunannya terserap pula di pelbagai sektor kehidupan publik. Tiga dari sepuluh orang Malaysia adalah orang Indonesia.
Pada dekade tahun 1930-an hingga tahun 1950-an negeri bekas koloni Inggris ini memiliki perkebunan karet amat luas namun tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Tetapi, mulai tahun 1960-an, Malaysia melakukan diversifikasi ke tanaman Sawit. Semula hanya seluas 20.000 hektar, lalu berkembang cepat jadi 2,47 juta hektar.
Pesatnya perkembangan di bidang perkebunan ini membuat Malaysia mengalami kekurangan tenaga kerja di 226 ladang kelapa sawit dan karet. Minimnya tenaga kerja mengakibatkan Malaysia rugi lebih dari 31 juta RM dalam perdagangan karet dan lebih dari 26 juta RM dalam perdagangan kelapa sawit.
Keadaan itulah yang memaksa Pemerintah Malaysia membuka pintu masuknya TKI gelombang kedua yang diplot bekerja kasar sebagai buruh perkebunan. Malaysia memberi iming-iming kontraprestasi tinggi; gaji PRT sekitar 400 RM atau setara Rp 1 juta per bulan. Besaran gaji itulah yang menjadi magnet TKI merantau ke Malaysia. Apalagi negeri jiran itu juga memiliki kultur dan bahasa mirip dengan Indonesia. Ribuan TKI terus menyemut ke sana. Mereka pekerja keras, tekun, tabah, dan tahan menderita fisik maupun rindu keluarga (home sick) di Tanah Air.
Ekonomi Malaysia pada paruh kedua tahun 1980-an melejit berkat TKI gelombang kedua, yang diperkuat perjanjian Indonesia-Malaysia pada tahun 1985 di Medan. TKI gelombang kedua inilah yang mulai membawa implikasi sosial, politik, dan keamanan terhadap Malaysia. Orang Melayu sudah merasa mulai tersaingi.
Para TKI gelombang pertama pun menganggap mereka sebagai kompetitor. Lagi pula tidak semua perkebunan Malaysia didukung administrasi baik. Muncul masalah, misalnya, pemutusan hubungan kerja sepihak, dan para TKI korban PHK ini rentan melakukan tindak kriminal.
Pada tahun 1990-an terjadi gelombang ketiga kedatangan TKI. Sejak gelombang ketiga inilah muncul istilah pendatang haram. TKI yang menyerbu Malaysia jauh lebih besar dari jumlah sebelumnya. Mereka kebanyakan hanya modal dengkul. Mereka inilah yang hingga kini menimbulkan persoalan serius.
TKI itu kini oleh etnik Melayu dianggap melulu sebagai beban, baik bidang sosial, ekonomi, maupun keamanan. Soalnya, Malaysia sedang berupaya melakukan industrialisasi sektor pertanian yang mensyaratkan tenaga kerja ahli. Relokasi industri pertanian Malaysia di Kalimantan dan Sumatera, mengubah kebijakan Malaysia terhadap TKI.
Habis manis sepah dibuang. Begitu simpul Alfitra Salam, peneliti Puslitbang Politik dan Kewilayahan-LIPI (Tempo, 22/7/ 01). Sesudah Malaysia menikmati penguatan politik berkat TKI gelombang pertama dan pertumbuhan ekonomi berkat TKI gelombang kedua, kini TKI gelombang ketiga diuber-uber.
Malaysia berkali-kali menggelar operasi besar-besaran untuk menghadang TKI. Wilayah operasi memanjang dari Pulau Langkawi sampai Tanjung Piai di Johor. Tahun 2000 operasi berhasil mendeportasi 88.000 pendatang haram Indonesia.
TKI cenderung distigmatisasi pers Malaysia. Berita-berita kriminal yang berkaitan dengan TKI cenderung di blow-up. Koran New Sunday Times (1/7/01) menjuduli beritanya, Indonesians top Most Wanted List, Other Nationalities Pale in Comparison (Orang Indonesia menempati puncak daftar orang paling dicari, bangsa-bangsa lain tak ada apa-apanya)."

***

Dengan kenyataan demikian, patut kiranya pemerintah Indonesia menunjukkan sikap politik yang tegas terhadap Malaysia untuk memberikan perlindungan hukum kepeda pekerja-pekerja kita di sana. Selama pemerintah Indonesia bersikap lunak terhadap Malaysia, selama itu pula TKI kita dilecehkan. Mengapa bangsa ini perlu melindungi pekerjanya yang ada di luar negeri ? Jawabnya tidak lain karena selain juga warga negara yang sah bangsa kita, mereka juga bisa menjadi cermin harga diri sebuah bangsa di mata bangsa lain. Sebutan “indon” yang lazim terhadap orang Indonesia di Malaysia bisa menjadi dasar bagi kita untuk melihat betapa orang Malaysia sangat merendahkan orang Indonesia.
Dengan ketegasan sikap politik dari pemerintah Indonesia ini juga, diharapkan pemerintah dan rakyat Malaysia menyadari bahwa kehadiran TKI juga merupakan kebutuhan riil mereka dalam membangunan bangsanya. Kebutuhan riil itulah yang menjadi dasar terjadinya pertemuan bersejarah antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Tun Abdul Razak awal tahun 1974. Itu artinya, terlepas dari berbagai persoalan yang ada, kehadiran TKI merupakan sumbangan terbesar Indonesia terhadap kemajuan Malaysia. Malaysia, sebagai suatu negara yang membangun dengan pesat, memerlukan perkerja asing kerana kapital buruh di Malaysia itu memang jelas tidak mencukupi. Dengan demikian, kemegahan dan kejayaan Malaysia dicapai bukan dengan tenaga rakyat Malaysia semata-mata.
Lalu apa balasan Malaysia ? Yang ada hanyalah kampanye besar-besaran untuk mengusir pekerja Indonesia setelah mereka merasa telah menjadi negara maju. Dan pada saat yang sama ada seorang warga Malaysia yang bernama Dr. Azahari justru datang ke Indonesia untuk menjalankan teror bom di mana-mana. Aksi-aksinya, justru membuat citra Indonesia di mata dunia internasional menjadi buruk.
Oleh karena itu, dengan momentum Ceriyati ini sudah sepatutnya pemerintah Indonesia bersikap tegas untuk sebuah harga diri bangsa di mata bangsa lain []

No comments: